Remy Yuliana Putri (36), seorang perempuan yang berprofesi sebagai driver taksi online, jasadnya ditemukan di dalam mobil Jalan Kerta Dalem, Desa Sidakarya, Denpasar pada Jumar (2/05/25). Ia dibunuh oleh pacarnya sendiri, Galuh Widiasmoro. Selain Remy, Kesia Irena Yola Lestaluhu, korban pembunuhan anggota TNI AL Kelasi Satu Suyono Wahyudi Ponidi. Sebelum dibunuh, Irena sempat dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku. Kisah naas juga terjadi pada perempuan yang berisinial EDK, 23 tahun yang dibunuh oleh pacarnya, MRR. Pembunuhan tersebut dilakukan lantaran korban marah-marah dan memukul pelaku dengan gagang sapu sebanyak 5 kali. Peristiwa tersebut menjadikan pelaku geram, sehingga mencekik leher korban dan membuat korban lemas kemudian meninggal.
Tiga perempuan di atas, adalah contoh kecil dari sekian besarnya kasus pembunuhan perempuan di Indonesia. Tinggal di Indonesia, rasanya sangat tidak aman bagi perempuan sebab di manapun dan kapanpun, selalu memiliki ancaman untuk dibunuh oleh orang-orang terdekat. Setiap hari, berita tentang pembunuhan terhadap perempuan, rasanya seperti sebuah kabar yang selalu hadir dalam ruang-ruang informasi di media massa. Belum selesai ancaman untuk mendapatkan kekerasan berbasis gender, perempuan semakin terancam dengan banyaknya kasus pembunuhan terhadap perempuan yang marak terjadi beberapa waktu belakangan ini. Dengan berbagai kasus yang terjadi di Indonesia, kita perempuan semestinya patut untuk menanyakan, “Kemana lagi kita akan tinggal, jika tidak pernah ada ruang aman bagi perempuan untuk hidup?”
Bayang-bayang hidup nyaman bagi perempuan rasanya hanya sebuah mimpi. Sebab hal ini dibuktikan dengan banyaknya kasus femisida (pembunuhan terhadap perempuan) di Indonesia yang selalu meningkat setiap tahun. Komisi Nasional-Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) engungkapkan bahwa terjadi terjadi 290 kasus pembunuhan terhadap perempuan yang periode Oktober 2023-Oktober 2024. Mengapa perempuan selalu menjadi sasaran kelompok yang dibunuh?
Menurut Komnas Perempuan, ada beberapa alasan umum mengapa pembunuhan terhadap perempuan kerap terjadi, di antaranya: superioritas, dominasi, agresi, hegemoni, misogini, rasa kepemilikan terhadap perempuan, ketimpangan relasi kuasa, hingga kepuasan sadistis. Sejauh ini, kelompok yang menyandang inferioritas adalah perempuan. Laki-laki memiliki hegemoni yang cukup kuat untuk melakukan kekerasan/membunuh terhadap perempuan karena memiliki modal yang cukup besar, seperti: kekuatan otot, hingga posisi superior yang sampai hari ini masih bertahan nomor wahid.
Jika melihat berbagai kasus femisida yang terjadi, sejauh ini pelaku adalah orang terdekat seperti:pacar, suami bahkan keluarga terdekat korban. Hampir kita melihat dalam kasus femisida, pelakunya adalah laki-laki. Artinya, dominasi laki-laki terhadap perempuan pada masyarakat kita masih sangat besar dan kuat sekali. Meski begitu, kita tetap harus waspada karena tidak semua pelaku femisida adalah orang terdekat. Dalam kasus Femisida pelaku HAM, misalnya. Korban femisida atas pembela HAM adalah Marsinah. Ia dibunuh karena sudah membela HAM para buruh pabrik yang belum mendapatkan haknya secara layak. Hingga hari ini, kepastian atas kematian Marsinah belum terungkap. Pemerintah kita belum menetapkan siapa yang bersalah atas kasus yang menimpa Marsinah.
Perempuan sangat rentan dibunuh karena sistem sosial ataupun sistem hukum yang berlaku di Indonesia, belum memberikan ruang aman atau keadilan bagi perempuan. Pemikiran masyarakat tentang superior dan inferior berdasarkan jenis kelamin, terus melanggengkan pemikiran masyarakat bahwa, perempuan tidak lebih dari benda yang bisa dihilangkan nyawanya, apabila dianggap merugikan. Dalam kasus-kasus yang lain, perempuan bisa saja dibunuh apabila dia hamil di luar nikah. Sebab kehamilan tersebut dianggap aib yang dianggap lebih baik mati daripada sepanjang hidup menanggung malu. Oleh karena itu, oerempuan bisa saja dibunuh oleh orang tuanya bahkan pacarnya atas nama kehormatan.
Kita tentu masih ingat, kasus pembunuhan terhadap perempuan yang dibakar hidup-hidup oleh pacarnya lantaran ia hamil. Peristiwa bejat tersebut dilakukan oleh seorang mahasiswa di Bangkalan, Jawa Timur. Padahal, jika memiliki pikiran yang waras, laki-laki hanya perlu dan wajib bertanggung jawab atas hubungan yang sudah atas dasar konsen sebelumnya. Namun, demi ‘kehormatan’, perempuan dihilangkan nyawanya secara tragis oleh sang pacar.
Peristiwa tersebut selalu mengingatkan kita bahwa, di manapun perempuan hidup dan tinggal di suatu wilayah, ia tidak pernah luput dari ancaman mendapatkan kekerasan atau bahkan dibunuh dengan cara-cara tragis. Sebagai perempuan, kita dituntut untuk terus bersuara dan keritis terhadap persoalan yang dialami oleh perempuan. sebab kita tidak pernah tahu, siapa yang akan menjadi korban selanjutnya, bisa jadi teman, orang terdekat bahkan keluarga kita yang dibunuh hanya karena dia berjenis kelamin perempuan. Bukan salah kita terlahir sebagai perempuan, tapi orang bejatlah yang membunuh seseorang hanya karena ia perempuan dengan berbagai motif yang ada.
Tentang Penulis
Muallifah, aktivis perempuan. Ia pernah menjadi kordinator Puan Menulis, komunitas perempuan penulis yang menyuarakan isu gender di media sosial. Ia bisa ditemui melalui Instagram @Muallifah_ifa.