“Aku pernah mendapat pelecehan dari temanku ketika dia menempelkan badannya ke badanku. Aku merasa tidak nyaman. Ada teman cowok yang menolong. Ketika aku mengucapkan terima kasih, dia justru mengatakan, “makanya cepat nikah supaya tidak digangguin”. Aku shock karena merasa disalahkan”. Cerita itu keluar dari salah satu peserta diskusi daring tentang seksualitas yang diselenggarakan oleh FAMM Indonesia bekerjasama dengan Kojigema Institute pada 28 Agustus 2020.
Diskusi bertema seksualitas dilakukan karena berhubungan dengan membangun kekuatan dari dalam diri atau sering disebut power within. Seksualitas adalah sebuah perjalanan dan perjuangan untuk merdeka dalam berekspresi dan bertoleransi. Seksualitas yang sangat sensitif dan informasinya dibutuhkan bagi semua pihak tetap lah tidak adil bagi sebagian orang, terutama LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender/transsexual, Intersexual, Queer) yang seringkali menerima citra negatif.
Patriarki telah membedakan seksualitas hanya pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Selain itu, Laki-laki diposisikan sebagai kelompok dominan dan perempuan yang didominasi. Situasi tersebut menunjukan adanya ketimpangan kekuasaan yang berdampak pada cara pandang hetero-normatif dan tidak mengakui identitas gender berbeda seperti LGBTIQ.
Untuk itu, tidak mudah bagi LGBTIQ hidup dalam masyarakat patriarkal. Sebelum ia ditolak oleh keluarga, masyarakat dan bahkan negara, ia akan tergerus bersama perasaan bersalah, penuh dosa dan merasa memiliki kepribadian menyimpang oleh dirinya sendiri. Indah, seorang aktivis LGBTIQ dari Kalimantan Timur menceritakan pengalamannya sebagai berikut.
“Perjalananku panjang, dimulai saat usiaku 13 tahun aku merasa seksualitas diriku berbeda. Aku lebih suka berteman dengan laki-laki dan curhat dengan mereka. Aku bertanya, kenapa aku tidak tertarik dengan kalian seperti teman-teman perempuan yang lain. Pada usia 21 tahun, aku merasakan perubahan secara fisik. Dulu aku punya payudara dan bentuk vagina dengan klitoris yang tertutup, kemudian payudara mengecil dan klitoris membesar atau disebut mikro-penis. Aku lalu mencari informasi termasuk dari komunitas transman Indonesia. Mereka menjelaskan bahwa ada kemungkinan aku seorang interseks atau seseorang dengan kelamin ganda. Interseks ada banyak jenisnya, ada yang lahir dengan kelamin ganda atau perubahan alat reproduksi terjadi saat pubertas. Tantangan terbesar adalah ego sendiri. Aku sering menyalahkan diri sendiri dengan menganggap diri salah bergaul dan tidak punya pendirian yang kuat. Keluarga dan lingkungan juga tidak luput menyalahkanku. Akhirnya aku sadar bahwa aku tidak berbeda karena aku belajar bahwa identitas seksual memiliki spektrum yang luas. Kesadaran itu muncul karena dikelilingi oleh teman, guru, aktivis dan organisasi yang menjadi ruang aman dan support system”.
Indah juga menambahkan bahwa ia dan pasangannya sempat dijebak oleh teman-temannya untuk diperkosa, karena ada anggapan bahwa penetrasi oleh penis dapat “menyembuhkan” perempuan homoseksual. Ini termasuk corrective rape atau percobaan pemerkosaan yang dianggap dapat mengubah orientasi seksual seseorang.
Sebagaimana pengalaman diatas, teman-teman LGBTIQ mempertanyakan kepada dirinya sendiri dan Tuhan mengapa dilahirkan berbeda, hingga berujung kebingungan tanpa jawaban. Ditambah, informasi yang tersebar dalam internet dan dunia kesehatan belum cukup ramah bagi keragaman identitas tersebut. Bahkan jika ada dokter yang ramah dan memahami tentang interseks, biayanya akan sangat mahal untuk cek kromosom dan hormon. Akibat kebingungan dan penolakan dari keluarga, ada teman-teman LGBTIQ yang kemudian berusaha menyakiti diri sendiri, termasuk menikah atas permintaan orang tua. Pendekatan orangtua juga beragam, selain menikahkan dengan jenis kelamin yang berbeda, pergi ke psikolog, pesantren dan dukun dijadikan alternatif untuk “menyembuhkan”.
Untuk itu, penerimaan diri, dukungan dan ruang aman sangat dibutuhkan. Penerimaan diri harus bersumber dari diri sendiri, keluarga, teman, masyarakat dan negara melalui segala produk kebijakan untuk melindungi kesetaraan dan keragaman. Ada yang menerima keragaman seksualitasnya, ada yang menolak, bahkan ada yang bersembunyi dan mengingkari. Segala tantangan dalam perjalanan hidup LGBTIQ tidak cukup hanya sekedar perjalanan, melainkan perjuangan tanpa batas.