Politik Maskulin; Eksploitasi Anak dalam Kampanye

Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli selalu menjadi momen penting untuk merefleksikan posisi anak-anak dalam masyarakat kita. Tahun ini, peringatan ini terasa lebih relevan mengingat kita sedang memasuki tahun politik, dengan Pemilu 2024 yang diikuti oleh Pilkada Serentak. Saat kita merayakan masa depan bangsa melalui anak-anak, kita juga dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa anak-anak sering kali dimanfaatkan dalam kampanye politik.

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi demokrasi, kita harus mengakui bahwa keterlibatan anak dalam kampanye politik adalah bentuk pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Anak-anak, yang seharusnya berada di ruang aman dan penuh kasih sayang, seringkali dijadikan alat untuk meraih simpati publik. Ini bukan saja tidak etis, tetapi juga melanggar hukum.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan jelas melarang eksploitasi anak dalam bentuk apapun, termasuk dalam kampanye politik. Pasal 15 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk dilindungi dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik. Demikian pula, Pasal 76H menyebutkan bahwa setiap orang dilarang memperalat anak untuk kepentingan militer dan atau lainnya, termasuk politik.

Namun, mengapa praktik ini masih terus terjadi? Di sinilah kita perlu melihat lebih dalam ke dalam relasi kuasa dan konsep maskulinitas politik. Maskulinitas politik, sebuah teori yang diangkat oleh tokoh seperti R.W Connell dalam bukunya “Masculinities”, menunjukkan bagaimana struktur kekuasaan didominasi oleh nilai-nilai maskulin yang sering kali mengabaikan kepentingan kelompok rentan, termasuk anak-anak. Relasi kuasa orang dewasa terhadap anak juga dijelaskan dalam teori ini, dimana anak dipandang sebagai objek yang bisa dikendalikan dan dimanfaatkan, alih-alih subjek yang memiliki hak dan suara.

Relasi kuasa ini juga bisa dijelaskan melalui teori sosiologi Pierre Bourdieu tentang “habitus” dan “modal sosial”. Anak-anak, yang masih dalam tahap pembentukan habitus, sangat rentan terhadap pengaruh dan tekanan dari orang dewasa yang memiliki modal sosial lebih besar. Dalam konteks kampanye politik, anak-anak seringkali tidak memiliki kemampuan untuk menolak atau bahkan memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi, sehingga mereka menjadi korban dari struktur sosial yang tidak adil.

Ketika anak-anak dipaksa atau dibujuk untuk tampil dalam kampanye politik, mereka sebenarnya sedang dipaksa untuk masuk ke dalam dunia orang dewasa yang sarat dengan intrik dan kepentingan. Mereka tidak memiliki pemahaman yang utuh tentang isu-isu politik yang kompleks, dan kehadiran mereka lebih sering dimaksudkan untuk menciptakan citra positif bagi calon yang berkampanye. Ini adalah bentuk eksploitasi yang sangat berbahaya karena mengorbankan masa kecil dan hak mereka untuk tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan mendukung.

Refleksi ini menjadi sangat penting menjelang Pilkada Serentak 2024. Sebagai masyarakat yang ingin membangun demokrasi yang sehat, kita harus berani menolak setiap bentuk eksploitasi anak dalam politik. Kampanye yang sehat dan beradab adalah kampanye yang menghormati semua pihak, termasuk anak-anak. Kita harus mendesak penegakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggaran ini dan membangun kesadaran kolektif bahwa anak-anak bukanlah alat politik.

Mengakhiri narasi ini, mari kita jadikan Hari Anak Nasional tahun ini sebagai momentum untuk memperkuat komitmen kita terhadap perlindungan anak. Demokrasi sejati adalah demokrasi yang menghargai dan melindungi hak setiap individu, termasuk anak-anak. Masa depan mereka adalah tanggung jawab kita semua, dan kita harus memastikan bahwa mereka tumbuh dalam lingkungan yang bebas dari eksploitasi politik.

Share this post

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.