DPR kembali membahas aturan yang berpotensi kuat merusak demokrasi dan upaya perlawanan terhadap korupsi. Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi prolegnas prioritas tahun 2015. Politikus partai PDIP Masinton Pasaribu adalah inisiator dari revisi UU KPK dengan didukung oleh partai lain seperti Golkar, PKB, Nasdem dan Hanura. Rencana revisi Undang-Undang KPK itu sudah sejak lama diusulkan. Meskipun yang sekarang yang mengusulkan jelas anggota DPR, tetapi pengalaman pengusul revisi undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi seringkali diawali oleh partai yang menguasai pemerintahan.
Megawati ketika menjadi pembicara kunci di seminar Mengkaji Wewenang MPR dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia (18 Agustus 2015) mengatakan, “Seharusnya kita memberhentikan yang namanya korupsi, sehingga komisi yang sebetulnya sifatnya ad hoc dan harus sementara ini saja (KPK) dapat dibubarkan.” Dengan pernyataan ini, ketua umum PDIP mendorong pemberantasan korupsi, sebab, apabila tidak ada korupsi, tentu saja KPK tidak ada lagi. Namun ternyata tindakan kader partainya yang duduk di ruang DPR justru berpikir sebaliknya. Apakah Mega akan bertindak akan hal ini?
Masinton Pasaribu, dengan kedudukannya sebagai anggota DPR, berkata kepada media bahwa pengajuan revisi tersebut merupakan adalah salah satu wewenang legislatif. Selain itu, bentuk hukum KPK secara adhoc juga menjadi alasan dibutuhkannya revisi. Namun revisi yang disampaikan bukannya memperkuat tugas dan peran KPK, justru melemahkan KPK. Beberapa pelemahan tersebut tampak pada:
- Adanya pasal yang mengatur pembatasan usia KPK yang hanya 12 tahun sejak undang-undang tersebut diberlakukan. Sementara KPK adalah lembaga penting dalam melawan budaya korupsi yang selama ini terus terjadi dan meningkat.
- Adanya pasal yang menyebutkan bahwa KPK tidak memiliki wewenang penuntutan dan pengawasan sehingga dengan demikian pasal ini mengamputasi kewenangan dan kerja KPK.
- Dalam draft disebutkan bahwa KPK berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) seperti Polri dan Kejaksaan. Padahal, kebijkan SP3 ini tidak sesuai dengan prinsip KPK.
Kawan-kawan aktivis menduga kuat bahwa revisi UU KPK ini merupakan titipan para koruptor atau mereka yang berpotensi dituntut oleh KPK. Koruptor yang menebalkan kantong uangnya sendiri dengan menggunakan uang yang seharusnya untuk mensejahterakan rakyat, justru sekarang berupaya untuk berkelit dari hukum, bahkan berupaya mengendalikan hukum sesuai dengan kehendaknya. Maka dari kita harus melawan.
Kami, aktivis perempuan muda yang tergabung dalam FAMM Indonesia menolak revisi UU No. 30/2002, yang ternyata berupaya melemahkan perlawanan terhadap korupsi, karena kami tahu perempuan akan semakin tertindas ketika korupsi merajalela. Karenanya:
- Kami mendukung Jokowi MENOLAK revisi UU KPK.
- Kami mendorong anggota FAMM yang lain untuk mengajak komunitasnya menolak revisi ini.
- Kami mendorong anggota FAMM yang lain untuk mengajak komunitasnya tidak mendukung calon-calon pilkada dari partai-partai yang mendukung revisi ini.
- Kami menyuarakan: PEREMPUAN TOLAK PENDUKUNG KORUPTOR.
Malang, 11 Oktober 2015
Niken Lestari
(Disusun oleh Divisi Ruang Aman)