Mentawai: Jejak Tradisi dan Perjuangan Perempuan

Sebuah Refleksi Perjalanan dan Suatu Kisah

Penulis adalah Ade Sukma (Sekolah Gender)

“Kak, Kamis kita ke Mentawai tiga hari, bantu riset ya,” begitu pesan singkat dari Caak lewat WhatsApp. Serba mendadak—benar-benar gaya dadakan khas Indonesia. Tapi anehnya, tidak ada keraguan dalam diri. Justru sebaliknya, ini seperti angin yang akhirnya datang setelah sekian lama dinanti. Tanpa pikir panjang, aku mulai mengemas barang, memilah pakaian, dan membeli beberapa titipan untuk kebutuhan lapangan. Perjalanan ini bukan sekadar menemani seorang kawan yang juga anggota Sekolah Gender. Aku tahu, ini akan menjadi babak penting dalam proses belajarku—sebuah pelajaran hidup yang tak bisa kutemukan di ruang kelas mana pun.

Lembutnya angin laut, aroma asin yang menyusup di udara, dan ritmis deburan ombak menjadi pembuka perjalanan kami menuju salah satu pulau terbesar di gugusan Mentawai. Setelah 3,5 jam mengarungi laut, kami tiba di Desa Maileppet, Pulau Siberut. Begitu kakiku menginjak tanah, Komunitas Sinuruk menyambut dengan kehangatan yang langsung menembus batas bahasa dan budaya. Komunitas ini tak sekadar pelestari seni—mereka adalah penjaga identitas. Dari tato Mentawai yang sakral, lukisan dan ukiran yang menggambarkan kosmologi lokal, hingga tari dan musik yang menghidupkan roh leluhur. Sambutan mereka membuatku sadar: ini bukan perjalanan biasa, melainkan pintu masuk ke dunia yang selama ini hanya kudengar dalam bacaan dan diskusi. Dengan bantuan Komunitas Sinuruk, setelah beristirahat kami mulai menjalin kontak dengan para tokoh adat dan warga setempat. Tugasku adalah membantu dokumentasi dan menjadi sparing partner Caak dalam menguji asumsi dan temuan-temuan awal. Kadang kami beda pendekatan—Caak lebih tegas, aku lebih cair. Tapi justru di sanalah letak kekuatan kami. Di Sekolah Gender, kami belajar bahwa perbedaan bukan untuk diseragamkan, melainkan dirayakan sebagai ruang belajar bersama.

Ada banyak kesan yang tertinggal dari kunjungan ini: keramahan warga yang begitu hangat, langit malam yang jernih tanpa polusi cahaya, aroma laut yang khas, hingga dialek lokal yang terdengar asing namun memesona. Namun, momen paling membekas adalah perjumpaan pertamaku dengan seorang Sikerei — figur spiritual yang dihormati sebagai penjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan roh-roh leluhur dalam tradisi masyarakat Mentawai. Hambatan bahasa sempat menjadi tantangan awal. Namun berkat bantuan teman-teman dari Komunitas Sinuruk yang setia menerjemahkan setiap kata, percakapan dengan Sikerei pun mengalir dengan hangat dan mendalam. Dari dialog itu, aku mulai memahami bahwa Sikerei bukan sekadar dukun atau tabib tradisional. Mereka adalah figur sentral dalam kehidupan komunitas: penyembuh, penasehat spiritual, penjaga hutan, sekaligus penghubung antara manusia dan alam semesta. Dengan pengetahuan turun-temurun tentang tumbuhan hutan, mereka meramu obat dari akar, daun, dan kulit kayu yang dipercaya memiliki khasiat penyembuhan. Namun lebih dari itu, pengobatan ala Sikerei juga menyentuh ranah spiritual — sebab bagi mereka, penyakit tidak hanya berasal dari tubuh yang lemah, tetapi juga dari jiwa yang terganggu oleh energi negatif atau roh yang tidak seimbang. Oleh karena itu, ritual pengusiran roh atau pemurnian energi menjadi bagian yang tak terpisahkan dari proses penyembuhan.

Salah satu kisah yang diceritakan padaku adalah tentang seorang anak yang mengalami demam tinggi disertai kejang-kejang. Menurut penuturan Sikerei, penyakit itu bukan hanya akibat kondisi fisik, melainkan karena anak tersebut diyakini telah mengganggu tempat tinggal roh hutan. Dalam pandangan lokal, ini bukan sekadar mitos, melainkan bagian dari kosmologi hidup yang dipercaya masyarakat. Melalui ritual pemanggilan roh, nyanyian sakral, dan ramuan dari akar pohon tertentu, proses penyembuhan dilakukan dengan penuh kehati-hatian. Konon, anak itu sembuh secara bertahap. Cerita ini lalu menyebar cepat di desa dan semakin mengukuhkan kepercayaan kolektif masyarakat terhadap peran penting Sikerei dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam tak kasat mata. Dalam percakapan kami dengan Sikerei, aku dan Caak menyinggung isu sensitif: bagaimana masyarakat Mentawai memandang kekerasan terhadap perempuan dalam bingkai hukum adat. Dengan nada tenang dan berwibawa, Sikerei menjelaskan bahwa dalam budaya mereka, perempuan memiliki posisi terhormat. Kekerasan atau pelecehan terhadap perempuan tidak hanya dianggap melanggar norma sosial, tetapi juga diyakini menodai keharmonisan spiritual dan membangkitkan murka leluhur. Penyelesaiannya jarang dibawa ke ranah hukum negara, tetapi dilakukan melalui mekanisme musyawarah adat yang dianggap lebih memulihkan keseimbangan komunitas.

Dalam praktiknya, musyawarah adat menghadirkan keluarga korban dan pelaku dalam satu forum yang dipimpin oleh para tetua adat. Keputusan yang dihasilkan bisa berupa pembayaran denda—babi, hasil kebun, atau benda berharga lainnya—yang diserahkan kepada keluarga korban sebagai bentuk pemulihan simbolik. Dalam beberapa kasus, sanksi sosial juga diberlakukan, seperti pengucilan atau bahkan pengusiran pelaku dari komunitas. Namun, proses ini lebih menekankan pemulihan harmoni kolektif ketimbang keadilan individual. Penjelasan itu membuatku dan Caak terdiam sejenak. Ada pergulatan batin yang tak bisa disembunyikan—di satu sisi, penyelesaian adat tersebut dianggap memulihkan martabat keluarga korban; di sisi lain, ia terasa menyisakan ketidakadilan yang dalam bagi korban itu sendiri. Kami kembali menyaksikan bagaimana tubuh dan pengalaman perempuan dijadikan semacam alat tukar demi menjaga harmoni sosial. Namun harmoni yang dibangun di atas kompromi terhadap penderitaan korban, justru menyimpan luka yang tak tampak: trauma yang tak pernah benar-benar disembuhkan.

Beberapa hari kemudian, Caak mewawancarai seorang perempuan muda dari Rogdok yang membagikan cerita menyayat hati. Ia mengisahkan kasus pemerkosaan terhadap seorang anak perempuan di desanya. “Waktu itu, keluarganya nggak berani bawa ke hukum negara. Akhirnya pelakunya dinikahkan sama korban. Tapi setelah menikah, si laki-laki malah kabur,” tuturnya lirih. Kisah itu memperkuat pemahamanku akan betapa rumitnya lanskap penyelesaian kekerasan seksual di komunitas yang masih terbatas akses terhadap pendidikan dan pengetahuan hukum. Dalam ruang sosial seperti ini, keadilan menjadi relatif, dan perempuan kembali harus menanggung beban dari kompromi-kompromi adat. Minimnya akses terhadap penyuluhan dan pendidikan seputar kekerasan seksual di Siberut menciptakan celah besar dalam perlindungan terhadap perempuan. Banyak kampung di pedalaman pulau ini masih hidup dalam isolasi geografis, dengan terbatasnya layanan pendidikan formal, pendampingan hukum, maupun informasi hak asasi. Dalam situasi seperti ini, penyelesaian kasus kekerasan seksual kerap diserahkan kepada mekanisme hukum adat yang dianggap lebih cepat, murah, dan tidak menimbulkan rasa malu bagi keluarga. Namun, pilihan ini seringkali justru menempatkan korban dalam posisi lemah—tidak jarang mereka bungkam karena takut dikucilkan atau disalahkan oleh komunitasnya sendiri. Data dari organisasi pendamping di Mentawai menunjukkan bahwa kekerasan seksual bukanlah insiden sporadis, melainkan pola yang berulang dan sistemik. Lembaga Perlindungan Perempuan dan Anak (LPPA) Mentawai mencatat lebih dari 40 kasus kekerasan terhadap perempuan di Siberut sepanjang tahun 2023. Ironisnya, lebih dari separuh kasus tersebut diselesaikan melalui jalur adat, bukan hukum formal negara. Angka ini patut menjadi perhatian serius—sebab besar kemungkinan hanya mencerminkan bagian kecil dari kenyataan yang tersembunyi, ibarat puncak gunung es yang jauh lebih besar di bawah permukaan.

Sudah saatnya semua pihak—baik lembaga adat, pemerintah, maupun masyarakat sipil—mulai membangun jembatan antara nilai-nilai lokal yang bermartabat dengan perspektif hukum dan hak asasi manusia yang lebih progresif. Hukum adat tidak harus ditinggalkan, tetapi harus mampu beradaptasi agar tetap relevan dan berpihak pada korban, bukan semata menjaga kehormatan kolektif. Di titik ini, pendidikan dan penyuluhan menjadi alat penting untuk mentransformasikan cara pandang komunitas, sekaligus membuka ruang aman bagi perempuan untuk bersuara dan mendapat keadilan yang layak.







Share this post

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.