Kepingan Potret Ekstraktivisme di Sumatera

Penulis adalah Dhonni Putera (Sekolah Gender)

Gelombang pembangunan masif yang digerakkan sejak era Orde Baru melalui skema Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) menjadi titik mula terbentuknya sistem ekonomi ekstraktif di Indonesia. Melalui regulasi seperti Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Kehutanan, dan Undang-Undang Pokok Agraria, negara secara sistematis mengalihkan kontrol atas tanah dan sumber daya alam kepada korporasi besar, terutama di sektor pertambangan dan perkebunan. Tidak jarang, hak-hak konsesi diberikan dengan syarat minimal, bahkan secara cuma-cuma, yang menunjukkan bagaimana kebijakan pembangunan justru memperkuat akumulasi kapital segelintir elit.

Dalam era Soeharto pula, konsep ekonomi hijau mulai diperkenalkan—sebuah gagasan yang di permukaan tampak progresif, namun dalam pelaksanaannya justru melahirkan berbagai bentuk kekerasan ekologis dan sosial. Di balik jargon “kemandirian pangan” dan “swasembada”, terselubung logika pembangunan yang mengintervensi struktur kehidupan lokal, dengan dampak yang sangat nyata terhadap perempuan. Program keluarga berencana, misalnya, dijalankan atas nama efisiensi konsumsi pangan, sementara kebijakan substitusi pangan lokal seperti sagu dan palawija dengan beras mempercepat proses erosi terhadap kedaulatan pangan berbasis budaya dan ekologi lokal.

Kapitalisme global menjadi aktor utama yang menopang skema pembangunan ini. Lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia memainkan peran strategis dalam mendanai proyek-proyek pembangunan yang dikemas dalam kebijakan negara. Di sisi lain, perusahaan agribisnis dan tambang menjalin kemitraan erat dengan institusi-institusi ini, bertindak sebagai perpanjangan tangan pasar global yang mengintervensi kebijakan domestik. Aliansi ini menghasilkan bentuk eksploitasi ganda—terhadap alam dan manusia—yang tersembunyi di balik retorika kemajuan dan pembangunan.

Perusahaan tambang dan perkebunan yang beroperasi di berbagai wilayah Indonesia, terutama di Sumatera, kerap mengabaikan prinsip keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. Lubang-lubang bekas tambang yang dibiarkan menganga telah menjadi jebakan maut bagi warga, terutama anak-anak yang tenggelam di kolam bekas tambang yang seharusnya direklamasi sesuai regulasi. Ironisnya, dana reklamasi yang dititipkan kepada pemerintah daerah justru kerap berakhir dalam praktik korupsi yang memperparah kerusakan. Ekstraktivisme yang dilepaskan dari kesadaran ekologis ini telah mempercepat laju krisis iklim—bukan lagi ancaman masa depan, melainkan kenyataan hari ini. Polusi akibat pembakaran lahan, pencemaran air tanah, dan penggunaan bahan kimia berbahaya kini menjadi bagian dari siklus kehancuran ekologis yang semakin sulit dikendalikan.

Transformasi proyek pembangunan dari era Repelita ke MP3EI (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia), hingga menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN), telah menciptakan dampak sistemik yang mengabaikan prinsip keadilan sosial. Penolakan warga terhadap pembangunan sering dijawab dengan represi: penggusuran paksa, penangkapan, hingga kriminalisasi. Dalam situasi represif ini, perempuan menjadi pihak yang paling rentan. Mereka tidak hanya kehilangan akses atas tanah—sumber penghidupan utama—tetapi juga kerap kehilangan anggota keluarga akibat kekerasan negara. Trauma sosial dan psikologis yang mereka tanggung bersifat jangka panjang dan berlapis. Dalam menghadapi ketimpangan struktural ini, penguatan kapasitas, pengorganisasian, dan partisipasi perempuan menjadi kunci. Perempuan harus diberdayakan untuk bersuara, membela hak-haknya, dan mengambil peran dalam perjuangan lingkungan hidup yang adil.

Tan Malaka pernah mengingatkan, “Jika kelak Kapital Asing terus merajalela di Indonesia seperti sebelum tahun 1942, maka politik Imperialisme pula yang akan merajalela di hari kemudian.” Kini, kata-kata itu terasa relevan. Ketika Proyek Strategis Nasional digencarkan, kearifan lokal masyarakat adat kian terpinggirkan. Contohnya adalah konflik di Air Bangis, Pasaman Barat, di mana masyarakat adat menolak pembangunan kawasan industri di tanah mereka. Begitu juga kasus Rempang-Galang di Kepulauan Riau, di mana warga digusur demi pembangunan industri kaca, seolah tanah dan sejarah leluhur yang tertanam di sana tak lagi bernilai.

Hingga tahun 2023, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat setidaknya 2.710 konflik agraria yang terjadi selama masa pemerintahan saat ini. Konflik-konflik tersebut tidak hanya mencerminkan kegagalan dalam pengelolaan sumber daya alam, tetapi juga berujung pada tragedi kemanusiaan: 69 orang kehilangan nyawa, 78 orang tertembak, 1.934 mengalami diskriminasi, dan 814 menjadi korban penganiayaan. Ironisnya, sebagian besar konflik ini justru terjadi di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam seperti Papua, Seruyan di Kalimantan Tengah, Lampung Tengah, Aia Bangih di Pasaman Barat, dan Rempang-Galang—daerah yang semestinya menjadi pusat kesejahteraan, bukan kekerasan.

Kekerasan ini tidak hanya menjangkau tubuh-tubuh manusia, tetapi juga merobek tubuh-tubuh sungai, hutan, tanah, dan udara. Alam yang seharusnya menjadi ruang hidup bersama, kini direduksi menjadi komoditas: sesuatu yang bisa dijual-belikan demi proyek investasi dan klaim pertumbuhan ekonomi. Namun pertanyaannya tetap menggantung: pertumbuhan untuk siapa? Kemajuan untuk siapa? Siapa yang menikmati hasil pembangunan, dan siapa yang dikorbankan dalam prosesnya?

Berbicara tentang krisis iklim tidak bisa dipisahkan dari perbincangan tentang keadilan sosial. Perubahan iklim bukan semata-mata soal naiknya suhu atau ekstremnya cuaca, melainkan tentang siapa yang paling rentan dan paling menderita karenanya. Masyarakat adat, petani kecil, dan perempuan berada di garis depan dari penderitaan ini. Mereka kehilangan akses terhadap air bersih, lahan yang subur, dan lingkungan hidup yang layak—tiga hal yang menjadi penopang kehidupan paling dasar.

Sebagai manusia yang hidup dan tumbuh dari rahim alam, sudah sepatutnya kita memikul tanggung jawab untuk menjaga dan merawatnya. Perlindungan lingkungan bukanlah beban yang hanya dipikul oleh para aktivis, melainkan tanggung jawab moral kolektif—negara, korporasi, dan setiap individu. Kesadaran ekologis bukan pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan bahwa generasi berikutnya masih punya rumah yang bisa dihuni.

Share this post

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.