Kacamata: Standar Kecantikan dan Penerimaan Diri

Memutuskan untuk akhirnya menggunakan kacamata itu tidak singkat. Setelah hampir empat tahun menyadari bahwa penglihatan saya mengalami penurunan saya tidak langsung sigap memutuskan menggunakan kacamata, bahkan berkonsultasi dengan dokter mata itu tidak sama sekali. 

Waktu jua lah yang membuat saya menyerah. Hal ini karena lambat laun saya merasa tidak bisa produktif melakukan aktivitas dengan laptop, pad dan telepon genggam dengan nyaman. Selain penglihatan kabur, buram, mata perih hingga merasa pusing dan mual. Hal ini mengganggu sekali. Padahal, mata ini aset saya. Hampir 18 jam saya gunakan.

Sebetulnya, yang membuat saya sungkan menggunakan kacamata adalah anggapan bahwa menggunakan kacamata itu memperparah kondisi mata. Misalnya yang semula minus 2 jadi 3 dan lain sebagainya. Saya pernah menyetujuinya karena saya pikir ada benarnya. Saking saya bergantung dengan kacamata, kemungkinan membuat saya terbiasa dan tidak lagi bisa melihat tanpa benda itu. Ini menjadi sangat personal. Karena saya merasa tidak perlu bergantung secara berlebihan pada siapapun dan benda apapun. 

Nah, jika saya kritisi lebih jauh, memang hanya kacamata saja yang membuat saya jadi bergantung padanya? padahal ada banyak benda lain, ya seperti yang saya sebutkan di awal: gadget. Sepertinya saya pun tidak bisa berhenti ketergantungan dengan benda tersebut. 

Selain itu, pengalaman ini juga berkaitan dengan standar kecantikan tertentu. Perempuan dengan kacamata hampir sering diasosiasikan dengan perempuan jelek, tidak bisa bergaul, kutu buku dan membosankan seperti yang dipopulerkan oleh karakter Betty La Fea dalam Telenovela yang diadaptasi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Sebuah Telenovela yang saya pernah tonton di usia belia ketika menginap di saudara, tanpa sadar saya merasa terpengaruh oleh citra Betty La Fea dan pandangan yang lebih luas mengenai perempuan berkacamata.

Namun, perkembangan zaman berganti. Kacamata mulai dimodifikasi dengan sedemikian rupa. Standar kecantikan itu berubah. Namun stigma itu tetap saja melekat pada tubuh perempuan. Lagi, kacamata bisa melakukan pembedaan pada kelas-kelas sosial, termasuk pada perempuan. Ada kacamata dengan harga fantastis yang tidak masuk akal yang memberi kesan glamor pada si pemakainya. Sebuah artikel merilis 10 kacamata termahal sedunia: mulai dari Cartier Paris dengan seharga US$25.000 setara 383 juta sampai merek Chopard seharga US$400.000 setara 6,1 Milyar. Lagi dan lagi, hal ini membuat perempuan tidak setara antara satu dan lainnya hanya karena memiliki kacamata mahal atau tidak.

Yang paling sulit dari semua adalah tentang mengakui bahwa saya memiliki keterbatasan. Apapun itu. Pengalaman masa kecil untuk mengakui tidak bisa ini dan itu, memiliki kekurangan ABCD, kerap membuat orang di sekeliling merespon negatif. Lambat laun hal ini mengakar, menjadi toxic dan merusak diri sendiri. Saya menjadi lebih mudah ‘menyangkal’ pada keterbatasan satu ke yang lainnya dan terus mengejar kesempurnaan hanya karena ingin disukai, mendapat perhatian atau pun diterima di lingkungan tertentu. 

Hal ini membuat perjalanan saya menggunakan kacamata maju mundur. Saya juga hampir tidak percaya memiliki isi kepala serumit itu. Seiring berjalannya waktu, saya semakin menyadari betapa dangkal dan tidak akuratnya pandangan ini. Saya menyadari bahwa penampilan fisik tidak mencerminkan kepribadian, karakter, atau potensi seseorang. Akhirnya, saya memutuskan untuk melawan stigma ini dengan menjadi contoh yang berbeda. Saya berusaha untuk tetap percaya diri tanpa membiarkan kacamata menjadi halangan untuk saya beraktivitas. Saya ingin memulai untuk mengambil peran dalam mempromosikan pesan bahwa setiap perempuan itu cantik dan kecantikan sejati datang dari dalam. Dan itu tidak melampaui apa yang terlihat secara fisik. Satu hal yang penting, yang saya sadari terlambat bahwa kesempurnaan itu mutlak tidak mungkin ada dan terjadi.

Share this post

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.