Covid-19 Mengancam Kerentanan Perempuan

Banyak gerakan sosial yang  berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan dan respon cepat penyebaran virus covid 19.  Tak luput gerakan solidaritas yang dilakukan perempuan dari lintas  elemen.  Baik kolektifitas pembuatan masker massal, hand sanitizer,  penyemprotan disinfektan, pembuatan bilik cuci tangan,  hingga sistem donasi untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat terdampak, dan APD bagi petugas kesehatan

Awal Maret 2020, Indonesia di gemparkan dengan informasi wabah Covid 19. Penyabaran covid 19 terhitung cepat, pada 8 April 2020 jumlah kasus  mencapai  2.956 kasus di Tanah Air (Kompas, 8 April 2020). World Health Organization (WHO) memberikan himbauan untuk melakukan physycal distancing dengan membatasi diri seseorang dari penyebaran covid 19.

Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan kebijakan dan himbauan dalam rangka pencegahan dan respon cepat covid 19 dengan pemberlakuan work from home bagi aparatur sipil negara di instansi pemerintah, penyelenggaraan proses belajar mengajar di rumah, pembatasan kegiatan usaha, tempat ibadah dan layanan fasilitas publik lainnya.

Situasi ini tentunya membawa dampak pada segala aspek keberlangsungan hidup masyarakat baik kondisi sosial, ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan. Tak terkecuali pada perempuan yang merupakan kelompok paling rentan dan terdampak.

Pertama, perempuan rentan menjadi korban kekerasan selama pandemi Covid 19. Kehilangan penghasilan dengan banyaknya pekerja baik formal dan informal yang diberhentikan. Pemenuhan kebutuhan untuk keberlangsungan hidup yang terus harus dipenuhi berpotensi pada peningkatan KDRT. Ranah, peran publik dan produktif yang diidentikkan pada laki-laki pun memerlukan adaptasi, ketidakmampuannya mengelola perubahan ranah dan peran tersebut dapat mengakibatkan situasi frustasi dan menggunakan kekuasaan relasinya pada anggota keluarga untuk melakukan kekerasan .

Data womens safety sebuah badan amal korban KDRT di negara bagian New south Wales melaporkan lonjakan 40% klien selama situasi pandemi korona dan pemerintah Australia menambahkan pendanaan untuk mengatasi KDRT hampir $ 100 juta (sekitar 1 triliun)- (CNN Indonesia 29 Maret 2020). Pemerintah Spanyol juga melaporkan layanan helpline ada peningkatan laporan pengaduan sebesar 12.4% pada 2 minggu pemberlakuan lock down dan website helpline menunjukkan 270% jumlah orang yang berkonsultasi (Sumber; Channelnewsasia.com)

Kedua, tidak terpenuhinya kebutuhan gizi bagi perempuan. Minimnya penghasilan  juga berdampak pada pemenuhan gizi perempuan dan dapat menghambat capaian penurunan angka stunting di Indonesia. Penghasilan yang terbatas mengharuskan perempuan mengurangi biaya untuk kebutuhan sehari-hari dimana mempengaruhi pemenuhan makanan bergizi dan seimbang yang dibutuhkan.

Ketiga, akses layanan perempuan korban menjadi lambat dan terhambat. Pada perempuan korban dirumah saja akan menjadi neraka baginya.  Hampir seluruh jajaran pemerintah baik pemberi layanan korban dan penegak hukum fokus pada upaya pecegahan dan penanganan pandemi covid 19. Kerja-kerja pendampingan korban pun menghadapi perubahan strategi berbasis online dan tahapan proses hukum baik di kepolisian menjadi terhambat, belum lagi tantangan selama proses persidangan yang harus dihadapi. Perempuan korban akan semakin menghadapi proses dan situasi yang sulit.

Ke empat, kerentanan perempuan muda pada perkawinan anak/dini. Perempuan muda di desa biasanya dihadapkan pada dua pilihan setelah lulus sekolah/ putus sekolah yaitu menikah atau bekerja. Hal ini terjadi karena stereotype yang dibangun dimasyarakat patriarki yang menempatkan perempuan pada ranah, peran domestik dan reproduktif.

Melayani pasangan, mengurus rumah tangga, melahirkan, mengasuh anak dll sehingga berpengaruh pada konsep dirinya dan role model dari keluarganya/ibu yang juga melakukan perkawinan anak. Sedangkan,  perempuan muda yang bekerja, ia memiliki kesempatan membangun relasi yang lebih luas, pengalaman, nilai baru dari lingkungannya yang mendukung pilihan kerja.

Ketika perempuan muda mengalami pembatasan kerja dengan penghentian kerja baik sektor formal dan informal, ia akan memilih kembali ke kampung halamannya dengan resiko kehilangan penghasilan dan kerentanan mengalami perkawinan dini atau perkawinan anak.

Hal ini didukung dengan jumlah pekerja perempuan Indonesia yang mencapai 47,91% dari (120,8 jiwa). Disektor informal pekerja perempuan berjumlah 57.51%, dan sektor formal jumlah pekerja perempuan 42,49%. Berdasar latar belakang pendidikan disektor informal 76.72 % pekerja perempuan menganyam pendidikan SD/tidak tamat, 25.38% pekerja perempuan  pendidikan terakhir SMA. Sedangkan disektor formal 23.28% pekerja perempuan pendidikan terakhir SD/tidak tamat dan 74.62% lulus SMA. (Direktorat Jendral BINWASNAKER dan K3 Kementerian Ketenaga Kerjaan RI)

Kelima, kerentanan perempuan untuk tertular dan menularkan (carrier). Ada beberapa hal yang mejadi pertimbangan kenapa perempuan menghadapi kerentanan untuk tertular dan menularkan. Pada realitasnya pedagang atau usaha kecil, kaki lima banyak dilakukan oleh perempuan. Hal ini ditunjang dengan data Bank Indonesia menyebutkan total Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di tahun 2018 mencapai 57,83 juta dengan lebih dari 60% dikelola oleh perempuan (Jumlah pelaku UMKM perempuan di Indonesia mencapai 37 juta) dan 47% perempuan tidak menggunakan teknologi untuk menjalankan usahanya (Kumparan, 19 Oktober 2018). Hal ini tentunya mengharuskan perempuan bertemu banyak orang (pembeli) yang tidak diketahui kondisi kesehatannya.

Selain berdagang, perempuan juga banyak yang bekerja menjadi petani. Indonesia merupakan negara agraris yang memproduksi hasil pertanian cukup besar. Perempuan juga memegang peran penting di sektor pertanian dalam pengelolaannya. Hasil Sensus Pertanian tahun 2013 (disingkat ST2013) menyebutkan sekitar 23 persen atau 7,4 juta petani di Indonesia adalah perempuan. Pada situasi covid petani perempuan tetap menjalankan aktifitasnya dalam bertani baik disawah, berkebun dll.

Pertimbangan terakhir adalah konstruk budaya patriarki yang menempatkan perempuan pada ranah domestik menuntut perempuan kembali pada kerja-kerja domestiknya ketika ia memperoleh kompensasi work from home. Dimana mengharuskan perempuan untuk tetap keluar rumah sekedar membeli kebutuhan keseharian rumah tangga baik dipasar tradisional, warung, maupun penjual sayur keliling. Kecil kemungkinan perempuan dapat melakukan aktifitas tanpa ke luar rumah atau work from home sehingga rentan menjadi orang yang tertular atau yang menularkan (carrier). Kondisi ini didukung dengan berita terkait ibu rumah tangga yang terkena virus corona padahal sehari-hari di rumah (Detik.com, 12 April 2020).

Pemerintah seyogyanya mempertimbangkan kerentanan perempuan yang terdampak dalam menyusun dan membuat kebijakan. Menyusun kebijakan dan startegi dalam rangka stabilitas akses layanan perempuan korban untuk memastikan layanan  baik konseling dan hukum yang maksimal dimasa pandemi Covid 19, menyediakan media untuk pemberdayaan ekonomi bagi perempuan rentan berbasis IT untuk meminimalisir siklus penyebaran covid 19 dan memastikan program-program untuk pemenuhan gizi perempuan yang di galakkan pemerintah menyasar pada kelompok perempuan rentan.

Share this post

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.