Delapan Hari Menuju Merdeka: Masyarakat Adat, Ibu Bumi, dan Demokrasi

Sembilan Agustus 2025, dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Sedunia. Tahun ini, peringatan itu jatuh delapan hari menjelang Hari Kemerdekaan Indonesia. Keduanya sering dianggap memiliki semangat yang sama: pembebasan dan kemerdekaan. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, masyarakat adat di Indonesia masih menghadapi persoalan yang membuat “kemerdekaan” menjadi konsep yang belum sepenuhnya dirasakan—mulai dari perampasan tanah, diskriminasi, hingga marginalisasi dalam proses politik.

Saya ingat pertama kali bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat adat ketika mengunjungi Baduy di Banten sekitar 2014. Jalannya berliku, penuh tanjakan, dan setiap langkah terasa seperti melintasi waktu. Di sana, saya belajar bahwa “kemajuan” tidak selalu berarti industrialisasi atau pembangunan fisik; kadang justru menjaga agar sungai tetap mengalir jernih, hutan tetap berdiri, dan adat tetap hidup adalah bentuk kemajuan yang sejati.

Bertahun kemudian, 2023–2024, langkah kaki saya menapaki tanah Papua, berulang kali. Di beberapa kabupaten, saya bekerja bersama perempuan dan orang muda masyarakat adat, membicarakan kepemimpinan perempuan, keamanan holistik, dan keberlanjutan hidup. Di Papua, saya mendengar ungkapan yang kini melekat kuat di benak: “Papua bukan tanah kosong”. Sebuah kalimat yang lahir dari perlawanan terhadap narasi negara atau pasar yang sering memandang tanah adat sebagai “lahan tidur” untuk dikelola demi kepentingan modal. Padahal, bagi masyarakat adat, tanah bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan sumber kehidupan, warisan leluhur, dan bagian dari tubuh kolektif yang mereka sebut Ibu Bumi.

Dalam kerangka ekofeminisme—sebagaimana diuraikan Vandana Shiva (1993, Monocultures of the Mind)—penindasan terhadap perempuan seringkali berjalan beriringan dengan perusakan alam. Di Papua, saya menyaksikan hal ini bukan sekadar teori. Perempuan adat menjadi penjaga kebun, hutan, dan sungai, tetapi mereka juga yang paling terdampak ketika wilayah adat dirambah atau diambil alih. Ekofeminisme membantu kita memahami bahwa perjuangan masyarakat adat bukan sekadar isu lingkungan, tetapi juga isu gender, hak asasi manusia, dan demokrasi.

Sebagai orang yang kini bekerja di bidang kepemiluan dan demokrasi, saya melihat langsung bagaimana hak-hak masyarakat adat masih belum sepenuhnya terlindungi dalam Pemilu dan Pilkada 2024. Di beberapa wilayah Papua, tantangan akses, kekerasan politik, dan ketidakakuratan data pemilih menghambat partisipasi politik mereka. Saat ini pun, saya masih bolak-balik Papua untuk mengawasi hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) putusan Mahkamah Konstitusi dan memantau pemutakhiran data pemilih berkelanjutan. Dalam proses ini, saya belajar bahwa demokrasi yang tidak mengakui hak masyarakat adat adalah demokrasi yang timpang.

Proses dekolonisasi, sebagaimana dijelaskan oleh Linda Tuhiwai Smith (2012, Decolonizing Methodologies), bukan hanya tentang membebaskan diri dari kekuasaan kolonial formal, tetapi juga membongkar cara berpikir dan struktur yang masih menempatkan masyarakat adat sebagai “yang lain”. Dalam konteks Indonesia, ini berarti mengubah cara negara, pasar, dan masyarakat luas memandang wilayah adat, hukum adat, dan pengetahuan lokal.

Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 2024 mencatat, setidaknya ada 2.547 komunitas adat di Indonesia yang tersebar di lebih dari 20 juta hektare wilayah adat. Namun, hingga kini, RUU Masyarakat Adat belum disahkan. Sementara itu, konflik agraria yang melibatkan wilayah adat terus terjadi, dengan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan 241 kasus sepanjang 2023—banyak di antaranya melibatkan perempuan adat di garis depan.

Peringatan Hari Masyarakat Adat Sedunia delapan hari menjelang Hari Kemerdekaan seharusnya menjadi momentum untuk menghubungkan kembali makna “merdeka” dengan keadilan ekologis, kesetaraan gender, dan demokrasi yang inklusif. Merdeka tidak cukup dimaknai sebagai terbebas dari penjajahan masa lalu, tetapi juga dari ketidakadilan struktural yang masih berlangsung hari ini. Masyarakat adat mengajarkan kita bahwa merdeka adalah ketika hutan tetap lestari, sungai tetap mengalir, perempuan tetap berdaulat atas tubuh dan tanahnya, dan generasi muda adat dapat menentukan masa depannya sendiri.

Delapan hari menuju kemerdekaan, saya percaya perjuangan masyarakat adat adalah perjuangan kita semua. Karena ketika Ibu Bumi terluka, kita semua merasakan sakitnya. Dan ketika masyarakat adat benar-benar merdeka, barulah kita bisa berkata: Indonesia merdeka seutuhnya.

Share this post

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.