Oleh : Katrin Selvina Wokanubun
Manusia senantiasa berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya dengan mengelola sumber daya alam yang tersedia di lingkungan sekitarnya. Jika pengelolaan ini dilakukan secara bertanggung jawab, maka aktivitas tersebut dapat memberikan manfaat besar bagi kesejahteraan masyarakat. Namun, sebaliknya, jika yang terjadi adalah praktik ekstraktivisme atas lingkungan, maka kerugian dan kehancuranlah yang akan dirasakan.
Salah satu kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap dampak kerusakan lingkungan adalah perempuan, termasuk mereka yang tinggal di kawasan pesisir. Pengalaman-pengalaman perempuan pesisir yang akan diuraikan berikut ini menggambarkan betapa besar dan eratnya peran serta keterhubungan perempuan dengan lingkungan hidup.
Cerita pertama datang dari Provinsi Maluku. Sebagai wilayah kepulauan, Maluku merupakan satu dari delapan provinsi kepulauan di Indonesia yang terdiri dari banyak pulau. Bersama FAMM Indonesia, Yayasan HUMANUM (Himpunan Maluku untuk Kemanusiaan) membangun sekolah perempuan yang diberi nama Bina Beluke. Sekolah ini menjadi ruang belajar bagi perempuan muda untuk memahami persoalan ekstraktivisme di lingkungan tempat mereka tinggal.
Gagasan pendirian Bina Beluke bertujuan untuk mendorong keterlibatan perempuan muda dalam memberikan pengalaman dan pengamatan langsung terhadap situasi-situasi ekstraktif di sekitar mereka. Tantangan yang mereka hadapi sangat berat, terutama dominasi patriarki yang masih kuat, yang kerap mengesampingkan praktik-praktik baik perempuan, mulai dari tingkat desa hingga ke jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi. Dalam konteks ini, perempuan muda menjadi kelompok yang paling terpinggirkan dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Ekstraktivisme mengambil dan menggerus sumber daya alam tanpa meninggalkan sisa, dan dampak buruknya paling dirasakan oleh perempuan. Di Piru, Kabupaten Seram Bagian Barat, perempuan mengalami kesulitan mencari kerang di sungai dan laut akibat aktivitas ekstraktif yang merusak ekosistem lokal. Padahal, sebelum perusahaan batu pecah mulai beroperasi, mereka dengan mudah memperoleh bahan makanan dari alam sekitar. Kini, ibu rumah tangga kesulitan menjalankan aktivitas ekonomi mereka, dan situasi ini memengaruhi keberlangsungan hidup mereka dan keluarga.
Banyak perempuan lanjut usia kehilangan anak-anak mereka yang terpaksa merantau dan meninggalkan kampung halaman akibat hilangnya mata pencaharian. Di satu sisi, penting untuk mendorong partisipasi perempuan yang berbasis pada pengalaman mereka sendiri. Sayangnya, hal ini masih sangat minim dilakukan oleh pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab.
Dokumentasi atas pengalaman organik perempuan pesisir, termasuk catatan dan data mengenai dampak penambangan, sangat penting sebagai alat advokasi. Dalam berbagai kegiatan seperti lokakarya, pengalaman perempuan dapat menjadi indikator penting dalam penyusunan kebijakan strategis untuk perlindungan lingkungan hidup.
Di Maluku Utara, aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan telah menjadi isu serius, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang merasakan dampaknya secara langsung. Kajian dari Nexus3 Foundation mengenai industri nikel di Teluk Weda, Halmahera Tengah, menunjukkan bahwa ekspansi tambang dan proses industri nikel secara signifikan memengaruhi lingkungan, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan sosial penduduk.
Pencemaran sumber air, hilangnya keanekaragaman hayati, dan deforestasi mengancam keseimbangan antara kesehatan ekologi dan penghidupan masyarakat. Kualitas air Sungai Ake Jira, misalnya, menurun dari Kelas I menjadi Kelas III, yang menimbulkan kekhawatiran karena selama ini menjadi sumber air minum warga.
Data dasar tahun 2007 menunjukkan bahwa kadar logam berat seperti kromium dan nikel telah melampaui batas aman menurut standar USEPA, sehingga sedimen di Sungai Ake Jira dan Ake Sagea kini diklasifikasikan sebagai “tercemar berat”. Menurut pedoman Kanada, kadar kromium tersebut dapat membahayakan kehidupan akuatik. Ikan dari Teluk Weda juga ditemukan mengandung arsenik dan merkuri. Kadar arsenik kini tercatat 20 kali lebih tinggi dibandingkan tahun 2007.
Hasil pengujian darah terhadap 46 responden menunjukkan bahwa 47% memiliki kadar merkuri di atas ambang batas 9 µg/L, dan 32% memiliki kadar arsenik yang melebihi batas 12 µg/L. Kadar tertinggi ditemukan pada warga yang bukan pekerja industri IWIP, dengan jalur paparan utama berasal dari konsumsi ikan laut yang dikonsumsi 2–3 kali sehari.
Pemantauan berkelanjutan sangat penting mengingat potensi efek kesehatan jangka panjang. Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah konkret untuk mengurangi paparan logam berat, mengantisipasi peningkatan penyakit tidak menular, serta memperhatikan risiko pencemaran pangan dan dampaknya terhadap keanekaragaman hayati.
Sementara itu, dari sisi kebijakan, respons Pemerintah Kabupaten Seram Bagian Barat terhadap aktivitas pertambangan dan dampaknya terhadap lingkungan masih sangat minim. Beberapa titik penambangan masih berlangsung, seperti tambang batu marmer di Desa Hulung, Kecamatan Taniwel, yang sudah menembus pasar ekspor. Selain itu, terdapat pula produksi pisang abaka di beberapa desa, dan penambangan rakyat batu sinabar di Kecamatan Huamual, yang dikenal sebagai batu yang mengandung air berwarna merah.
Minimnya regulasi dari pemerintah kabupaten salah satunya disebabkan oleh keterbatasan kewenangan dalam menerbitkan izin tambang, yang merupakan domain pemerintah provinsi dan pusat. Pemerintah kabupaten hanya memiliki wewenang atas izin lingkungan. Di tengah ketimpangan ini, muncul konflik antara masyarakat adat dan perusahaan, di mana perusahaan mengklaim telah memiliki izin, sementara masyarakat menyangkal hal tersebut.
Tambang batu sinabar di Huamual dikelola oleh masyarakat secara ilegal dengan melibatkan sekitar 13.000 penambang. Aktivitas ini telah mencemari sungai dan Teluk Huamual, mengancam biota laut. Dampak sosial pun turut muncul, seperti praktik prostitusi dan peredaran narkoba yang tidak terkendali. Meskipun aparat kepolisian telah menangkap beberapa pelaku, masalah ini belum dapat diselesaikan hingga ke akar-akarnya.
Ketua DPRD Kabupaten Seram Bagian Barat, Hengky Andarias Kolly, menyatakan bahwa meskipun aktivitas tambang ini merusak, penutupannya akan menimbulkan dilema besar karena tambang tersebut menjadi satu-satunya sumber mata pencaharian bagi sebagian masyarakat. “Banyak warga yang bermigrasi ke Weda dan pindah KTP karena susahnya lapangan pekerjaan. Namun, jika tambang ini ditutup, masyarakat akan mengalami kesulitan yang lebih besar,” ungkapnya.
Melihat situasi ini, sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan perubahan kebijakan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dan menyeluruh, termasuk organisasi masyarakat sipil (LSM/NGO), serta memaksimalkan peran lembaga-lembaga strategis di bidang eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Keadilan ekologis tidak akan tercapai tanpa pengakuan dan pelibatan perempuan dalam menghadapi krisis lingkungan.