Oleh Tuba Fallopi
“Aku harus membangun ‘rumahku’ lagi”. Begitulah kira-kira sepenggal dialog tokoh Iswar, sang tokoh utama, kepada sahabatnya Haraprasad, ketika hendak meninggalkan koloninya di tanah pinggiran Kalkuta dalam film Subana Rekha (Ritwik Ghatak, India, 1965). Film berdurasi dua jam ini menggambarkan India yang hancur akibat tragedi sejarah dan sosial yang diwakili dengan kisah perjalanan sebuah keluarga yang mencari “rumah”. Filem ini berlatar kisah tentang keluarga pengungsi dan traumanya di masa pasca-partisi India dan Pakistan pada tahun 1947. Narasi berpusat pada Iswar, seorang pria yang mempunyai adik bernama Sita, dan mengadopsi anak laki-laki dari suku Bagdio (suku asli Benggali dan berkasta rendah) bernama Aviram.
Film yang lahir lebih dari setengah abad lalu ini, tentu saja tidak serta-merta diberi judul Subana Rekha, yang adalah nama sebuah sungai, tapi secara harfiah dan secara visual berarti “Garis Emas” (Bahasa Bengali dan Bahasa Sanskerta). Sungai ini pada eranya dikenal karena keberadaan mineral dan sumber daya alam lainnya, termasuk emas. Sungai ini juga menjadi sumber air utama untuk irigasi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, serta berkontribusi menunjang ekonomi penduduk lokal. Aliran yang berliku-liku mengalir melewati tanah-tanah koloni dan menjadi saksi bisu perubahan situasi politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Hal tersebut merupakan metafora atas kehidupan yang terus berjalan untuk menemukan identitas, stabilitas, dan harapan di tengah perubahan drastis India pasca-partisi. Pencarian itu diwakilkan dalam filem ini oleh Iswar, Sita, dan Aviram.
Iswar adalah karakter yang kompleks dan idealis, tetapi terjebak dalam realitas perubahan sosial. Awalnya kita akan diperkenalkan sosok Iswar yang merupakan seorang guru yang membangun sekolah di lokasi pengungsian bersama sahabatnya Haraprasad, untuk mendidik anak-anak agar mempunyai pengetahuan demi membangun fondasi India. Namun, karena Iswar sebagai kepala keluarga yang tercerabut dari tanah kelahirannya, mesti mencari kehidupan baru dan melakukan perjalanan lain: bekerja di penggilingan padi dan menemukan rumah baru, serta menghadapi proses industrialisasi dan modernitas.
Filem ini adalah gambaran kondisi ekonomi India yang sedang mengalami kemiskinan yang luas, ketidakmerataan ekonomi, kelaparan, dan kekurangan pangan, serta perjuangan melawan sistem kasta yang dialami oleh banyak orang. Iswar adalah India. Sedangkan tokoh Sita adalah karakter yang menjelaskan kondisi perempuan India yang tertindas berkat norma-norma patriarkal dan sistem kasta. Dalam filem, dendang lagu Sita sering kali bermakna tragedi, kepedihan, keironian yang dihadapi selama pemisahan. Perjumpaan kembali Sita dengan Aviram di usia dewasa adalah pertemuan dua kasta yang berbeda, yang menjadi persoalan utama dalam filem ini. Pernikahan keduanya merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem kasta, yang merupakan realitas yang telah menjebak Iswar selama ini. Binu sebagai anak dari Sita dan Aviram merupakan bayangan utopis masa depan India.
Pencarian belum usai, sinema masih berlangsung menjadi pemersatu untuk membungkus situasi polemis suatu negara di wilayah lain di dunia. Setahun sebelum Subana Rekha rilis, sebuah filem muncul ke permukaan sebagai salah satu suara paling penting dalam sinema Afrika, Black Girl (Senegal, 1964) karya Ousmane Sembene. Filem ini mengungkapkan ketidakadilan dan eksploitasi yang dialami oleh banyak imigran Afrika,melalui kisah seorang perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Perancis. Film dimulai dengan adegan kapal berlayar dari Dakar menuju sebuah pelabuhan di Perancis, menandakan perpindahan latar Afrika ke Eropa. Adegan ini segera menunjukkan perubahan drastis dalam konteks lokasi.
Melalui montase kilas balik, penonton diperkenalkan dengan Diouana. Ia adalah perempuan muda berasal dari Dakar, memimpikan kehidupan yang indah, menjelajahi kota, serta singgah ke toko-toko di Perancis. Impian tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan. Diouana yang jika di Dakar bisa berjalan ke sana sini, malah terkungkung seperti tahanan di
Perancis. Diouana adalah refleksi dari suara-suara yang terjebak antara modern Afrika dan Perancis, mencerminkan krisis identitas yang banyak negara pasca-kolonialisme dan individu-individu hadapi dalam masa transisi era kolonialisme ke era kemerdekaan.
Puncak tragedi terjadi ketika Diouna mengunci dirinya di kamar mandi dan bunuh diri. Gaun putih yang digunakannya adalah visual kontras tentang sebuah kematian seorang martir, dalam perlawanannya terhadap sistem yang menindas. Bilamana gerakan sosial menjadi katalisator untuk perubahan, kematiannya juga menggarisbawahi kebrutalan dan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Afrika. Topeng yang dihadiahi Diouana kepada majikannya, dan digantungkan pada dinding berwarna putih, juga merupakan visual yang kontras membingkai ketertekanan dan meletakkan Diouana dalam posisi inferior. Hal ini juga terlihat pada adegan ketika salah seorang tamu pria tuannya menciumi pipi Diouna dengan gaya khas Eropa, mengucapkan, “Aku belum pernah mencium gadis berkulit hitam sebelumnya.” Itu adalah penegasan superioritas laki-laki kulit putih terhadap perempuan kulit hitam. Sosok Diouana diobjektifikasi sebagaimana topeng di dinding berwarna putih.
Dalam beberapa tradisi di dunia topeng diyakini sebagai lambang identitas dan tempat roh orang mati bersemayam. Kendatipun mati, arwah orang tersebut masih menjadi bagian kehidupan. Namun, bagi beberapa yang lain topeng hanya sebagai cenderamata atau pajangan. Penolakan ibu Diouana terhadap uang yang diberikan si Tuan Perancis setelah kematian Diouana, menunjukkan sebuah penolakan terhadap sistem yang eksploitatif. Adegan ditutup dengan seorang anak kecil yang mengambil topeng dari rumah ibu Diouana, lalu mengenakannya, kemudian ia berbalik menghadap penonton, seolah menyatakan kehadiran sinema Afrika untuk pertama kalinya. Anak kecil itu mengiring langkah si Tuan Prancis sampai ke mobil. Bayang-bayang masa lalu kolonial akan terus menghantui rakyat Afrika, tetapi di sisi lain ini juga bisa menjelaskan bahwa Diouana tidak mati. Ia adalah jelmaan masa depan yang juga akan menghantui penjajahnya, dalam hal ini Perancis.
Topeng-topeng juga hadir dalam filem Soy Cuba / I am Cuba (Mikhail Kalatozov, Kuba, 1966). Jika topeng dalam Black Girl adalah relasi kemanusiaan, dalam filem Soy Cuba ada Maria yang menerjemahkan kehadiran topeng secara transendental, sebagai bentuk ungkapan kemarahan. Topeng-topeng ini dan tarian Maria ada di sebuah bar. Soy Cuba mengangkat berbagai aspek sosial politik yang saat itu sedang dalam fase perubahan besar setelah revolusi Kuba tahun 1956, melalui empat episode yang saling terhubung. Masing-masing episode ini menggambarkan kehidupan sehari-hari, di mulai dari menyoroti kehidupan seorang pelacur di Havana yang terjebak dalam siklus eksploitasi dan kemiskinan, kehidupan seorang petani yang diberangus oleh tuan tanah, aksi yang digerakkan oleh mahasiswa, dan terakhir gambaran perjuangan gerilyawan.
Penderitaan-penderitaan dalam empat adegan ini dibingkai menjadi muara kolektif untuk seruan revolusioner sebagai reaksi terhadap ketidakadilan sosial yang meluas. Filem ini juga merupakan alat propaganda untuk menunjukkan dukungan Uni Soviet terhadap Kuba dan menyoroti ketidakadilan yang terjadi di bawah kapitalisme, serta mempromosikan ideologi komunis sebagai solusi. Salah satu elemen yang paling mencolok dalam filem ini adalah penggunaan long take dan pengambilan canted framing. Strategi visual tersebut menggambarkan ketidakstabilan dan perubahan sosial, serta membuat penonton seakan-akan menjadi subjek yang juga hidup di Kuba. Semua aksi yang dilakukan oleh sutradara dan produksi filem ini menyampaikan tema tentang gerakan sosial dan aksi revolusioner. Dalam filem ini kita bisa merasakan keterhubungan antar tiap-tiap episode dengan pergantian adegan yang mengalir, yang bisa menciptakan satu kesatuan ide yang menyeluruh.
Ketiga film di atas merupakan pandangan mendalam terhadap situasi pasca-Perang Dunia II tentang sejarah dan perjuangan di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Masing-masing karya ini menyuarakan protes dan harapan dari masyarakat yang mengalami kolonialisme. Melalui bahasa sinematik, ketiga filem ini juga menyelami kompleksitas identitas, ketidakadilan, dan perubahan sosial, yang menghasilkan sebuah refleksi mendalam tentang semangat untuk melawan, bertahan, dan bersikap politis untuk masa depan.
*Tulisan ini sudah pernah dimuat dalam buku “S… Untuk Sinema”, 2023 diterbitkan oleh Forum Lenteng, Jakarta.