Kurban, Ekologi, dan Spiritualitas Perempuan: Kajian Reflektif dalam Perspektif Islam dan Ekofeminisme

Tahun ini saya memberanikan diri untuk berkurban. Sebuah keputusan yang tidak datang tiba-tiba. Ada pergulatan yang cukup lama untuk sampai pada titik ini—pergulatan yang bukan hanya soal kesiapan materi, tetapi soal keberanian untuk mengalahkan ego. Saya ingin memulainya perlahan, dengan satu langkah kecil: menyedekahkan harta yang selama ini terasa begitu sulit dilepas. Sebab, bukankah harta adalah salah satu bentuk perpanjangan dari rasa kepemilikan, keakuan, dan kekuasaan atas hidup?

Namun lebih dari itu, saya ingin menjadikan kurban sebagai jembatan untuk kembali melibatkan diri dalam komunitas. Menyapa tetangga, menyaksikan wajah-wajah penuh harap yang menunggu potongan daging yang tak selalu hadir di meja makan mereka. Saya ingin menyentuh kembali relasi kita dengan alam—yang kian hari kian rusak karena kerakusan manusia yang terus mengambil tanpa memberi. Dan lebih jauh, saya ingin merenungkan kembali perjuangan seorang perempuan yang seringkali dilupakan atau belum pernah diingat sama sekali dari sejarah spiritual Islam: Siti Hajar. Ia adalah fondasi spiritual yang menjadi titik tolak ritual sa’i dalam ibadah haji. Ia adalah narasi awal tentang keberanian seorang perempuan yang ditinggalkan di tengah padang gersang, namun memilih untuk tidak menyerah pada sunyi.

Kurban: antara Ritual Penyembelihan dan Transformasi Ego

Dalam QS Al-Hajj (22): 37, Allah menegaskan: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridlaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”

Esensi kurban bukanlah pada penyembelihan hewan semata, melainkan pada penundukan ego dan pembelajaran memberi, merasa cukup, serta berkorban. Kurban adalah latihan spiritual yang mengajarkan bahwa kita tidak sepenuhnya memiliki sesuatu—bahkan harta kita sekalipun—dan harus rela berbagi demi keseimbangan sosial dan ekologis.

Siti Hajar: Simbol Perempuan, Pengorbanan, dan Spiritualitas 

Ekofeminisme juga menghubungkan perjuangan perempuan dengan alam. Dalam Islam, kisah Siti Hajar menjadi representasi bagaimana perempuan sering kali berada di garis depan dalam menjaga kehidupan. Ketika ia ditinggalkan di padang pasir bersama Ismail, Hajar tidak menyerah. Ia berlari antara Shafa dan Marwah untuk mencari air, yang akhirnya membawa munculnya air zamzam, sebuah simbol kehidupan yang tak pernah kering.

Menurut perspektif feminis Islam seperti Amina Wadud, “kisah Hajar bukan sekadar pelengkap kisah Ibrahim, melainkan pusat spiritualitas dan pengorbanan yang setara dengan narasi nabi laki-laki”

“Perempuan bukanlah pelengkap, apalagi pelayan dalam sejarah kehidupan. Perempuan adalah pelaku utama dalam mewujudkan keberadaban dan keadilan.” – Dr. Nur Rofiah.

Mengingat Hajar berarti mengakui peran perempuan sebagai subjek spiritual dan penjaga kehidupan, serta mengaitkannya dengan ekologi, perempuan sering kali menjadi garda depan dalam menjaga keberlanjutan hidup, serupa dengan alam yang mereka pelihara.

Membaca Ulang Relasi Manusia-Alam 

Dalam tradisi Islam, kurban bukan sekadar ritual penyembelihan hewan, melainkan wujud hubungan harmonis antara manusia, hewan, dan alam. Namun, di tengah krisis ekologi global, kurban bisa menjadi titik refleksi kritis terhadap cara manusia memanfaatkan alam. Di sinilah ekofeminisme, sebagai teori yang menggabungkan kritik patriarki dan eksploitasi lingkungan, memberikan lensa analitis yang kuat.

Carolyn Merchant dan Vandana Shiva menyatakan bahwa patriarki tidak hanya menindas perempuan, tetapi juga menganggap alam sebagai objek yang bisa dieksploitasi demi keuntungan manusia. Pola ini sama halnya dengan bagaimana hewan dan sumber daya alam dimanfaatkan tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan etika. Dalam konteks kurban, ekofeminisme mengajak kita untuk menilai kembali relasi tersebut dalam kerangka etika Islam yang holistik.

Ekofeminisme mengkritik tradisi patriarkal yang memandang alam semata sebagai sumber daya untuk dieksploitasi. Sementara Islam menegaskan peran manusia sebagai khalifah di bumi (khalifah fil ardh) yang bertugas menjaga keseimbangan ekosistem, bukan merusaknya (QS Ar-Rum: 41):

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Dalam praktik kurban, hewan diperlakukan dengan penuh kebajikan, mulai dari pemberian makanan yang layak, penyembelihan yang beradab dengan doa, hingga darah yang mengalir ke tanah yang menyuburkan bumi, memperlihatkan siklus kehidupan yang harmonis. Ini merupakan simbol penghormatan terhadap makhluk ciptaan dan alam semesta, berbeda dengan eksploitasi destruktif yang mengabaikan keseimbangan ekologis.

Ekofeminisme menegaskan bahwa krisis ekologis tidak bisa dilepaskan dari struktur patriarki yang memosisikan manusia sebagai pusat kehidupan dan mengabaikan keseimbangan ekosistem. Kurban, yang hanya dilakukan sekali setahun dengan hewan yang sehat dan cukup umur, mengajarkan prinsip keberlanjutan (sustainability), kesederhanaan, dan cukup.

Hadis Nabi Muhammad SAW memperkuat prinsip ini: Tidaklah seorang muslim menanam suatu tanaman, lalu tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, atau hewan, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Muslim)

Hal ini menunjukkan bahwa manusia hanya mengambil dari alam sesuai kebutuhan dan harus mengembalikan kebaikan kepada makhluk lain. Dalam konteks kurban, daging yang dibagikan kepada yang membutuhkan adalah manifestasi konkret solidaritas dan tanggung jawab sosial-ekologis.

Selain itu, kurban dalam praktiknya adalah momen gotong royong dan solidaritas sosial. Hewan kurban dimandikan, diberi wewangian, dan diselimuti doa, sebagai wujud penghormatan terhadap makhluk hidup. Nabi Muhammad SAW bersabda: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat baik (ihsan) terhadap segala sesuatu. Maka apabila kalian membunuh, lakukanlah dengan baik; apabila kalian menyembelih, lakukanlah dengan baik.” (HR. Muslim)

Daging yang dibagikan kepada masyarakat, khususnya yang jarang menikmati daging, adalah manifestasi solidaritas dan keadilan sosial. Darah yang mengalir ke tanah menyuburkan bumi, menandai siklus saling memberi antara manusia, hewan, dan alam yang harus dipelihara agar harmoni ekosistem terjaga.

Penutup

Pendekatan ekofeminisme membantu kita memahami bahwa kurban bukan sekadar ibadah individual dan ritual tahunan, melainkan latihan spiritual dan sosial yang berkelanjutan. Pengorbanan terbesar adalah ego—yang sulit berbagi, merasa cukup, dan berempati terhadap sesama. Melalui kurban, kita diajak untuk membangun kembali hubungan harmonis dengan sesama manusia, hewan, dan alam.

Kisah perempuan seperti Siti Hajar dan prinsip-prinsip ekofeminisme mengingatkan kita bahwa menjaga bumi adalah juga menjaga kehidupan perempuan dan komunitas yang paling rentan. Semoga kita terus belajar mengorbankan ego demi keadilan ekologis dan gender, serta mendekatkan diri kepada Allah.

Daftar Pustaka

  • Al-Qur’an al-Karim.
  • Barlas, Asma. Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin: University of Texas Press, 2002.
  • Bukhari dan Muslim, Sahih.
  • Merchant, Carolyn. The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution. New York: HarperOne, 1980.
  • Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. London: Kegan Paul, 1990.
  • Shiva, Vandana. Staying Alive: Women, Ecology, and Development. London: Zed Books, 1989.
  • Wadud, Amina. Qur’an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective. New York: Oxford University Press, 1999.

Share this post

Leave A Comment

Your Comment
All comments are held for moderation.